Monday, August 08, 2011

" JANJI " ALLAH SEBAGAI SAKSI

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM…

Saya menulis atas nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani. Alhamdulillah, masih dikurniakan kesihatan serta peluang oleh Allah SWT bertemu lagi dengan Ramadhan kali ini. Sedar tidak sedar, sudah masuk hari kelapan berpuasa. Alhamdulillah juga, masih diberikan oleh Allah SWT kesempatan masa untuk terus menulis di kanvas maya ini. Mudah-mudahan terus diizinkan Allah dalam ruang yang terhad ini untuk saya menulis dan berkongsi sedikit tentang persoalan yang sering dipandang ringan oleh masyarakat, sedang tuntutannya begitu berat iaitu JANJI. Kata Pak Hamka, “Kehidupan ini seluruhnya diikat dengan janji. Mengakui sebagai hamba Allah, ertinya akan menepati janji dengan Allah. Mungkir janji dengan manusia pun bererti memungkiri janji dengan Allah.”

Dinul Islam sejak kedatangannya mempunyai tujuan yang indah iaitu membangun masyarakat yang ideal, masyarakat yang penuh dengan keutamaan dan jauh daripada kehinaan. Saling tolong-menolong atas dasar taqwa dan kebaikan serta saling berwasiat dengan kesabaran dan kebenaran. Dinul Islam juga mengajarkan agar setiap muslim menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Antara akhlak mulia itu adalah menepati janji.

Bagi mendapatkan maksud perkataan janji dengan tepat, Kamus Dewan yang dirujuk mencatatkan maksud janji dengan - pernyataan kesediaan untuk berbuat atau memberi sesuatu.

DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN JANJI

1. Firman Allah SWT “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan Hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (al-Baqarah: 40)

2. Firman Allah SWT “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)

3. Firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (al-Maidah: 1)

Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

4. Firman Allah SWT “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isra’: 34)

5. Firman Allah SWT “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (al-Shaf: 2-3)

6. Firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan menyalahi janji.” (Ali Imran: 9)

7. Sabda Rasulullah SAW “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, bila berkata ia dusta, bila berjanji mengingkari, dan bila dipercaya ia khianat”. (Muttafaq Alaihi).

8. Sabda Rasulullah SAW “Empat (sifat) yang siapa ada padanya sifat tersebut, maka ia adalah munafik sempurna. Dan siapa yang ada padanya salah satu dari pada itu, maka padanya salah satu daripada sifat nifaq, hingga ia meninggalkannya. Iaitu apabila diamanatkan ia khianat, dan bila berbicara ia dusta, bila berjanji menyalahi janji, bila bermusuhan dia curang”. (HR Bukhari Muslim)

9. Sabda Rasulullah SAW daripada Jabir RA, “Nabi berkata kepadaku, ‘Kalau harta Bahrain datang aku akan memberimu segini, segini, dan segini.” Ternyata harta Bahrain tidak pernah datang hingga beliau meninggal. Lalu ketika harta Bahrain itu datang Abu Bakar menyuruh orang untuk memanggil, ‘Barangsiapa yang mempunyai piutang kepada Rasulullah hendaknya datang kepada kami niscaya aku akan membayarnya. Aku berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah berkata kepadaku begini dan begitu. Kemudian ia mengambil satu genggam untukku dan aku menghitungnya. Ternyata ia berjumlah lima ratus. Abu Bakar berkata lagi, “Ambillah dua gini lagi.” (Muttafaq Alaihi).

ADAB-ADAB DALAM BERJANJI

Janji adalah hutang, begitulah bidalan bijak pandai. Memenuhi janji dalam Islam adalah sebuah kewajiban, sehinggakan Rasulullah SAW menerangkan tentang salah satu sifat orang munafik adalah ingkar bila berjanji. Janji di kalangan pemuda-pemudi khususnya para aktivis Islam kadang sering dianggap remeh. Sebagai agama yang syumul, Islam telah mengaturkan adab-adab dalam berjanji. Antara adab-adab yang perlu diikuti itu ialah mngucapkan lafaz “Insya Allah” apabila berjanji. Suruhan ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya;

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu ‘Sesungguhnya aku akanmengerjakan itu esok pagi’, kecuali (dengan menyebut) Insya Allah”. (al-Kahfi: 23-24)

Kebiasaannya, sebahagian daripada kita apabila membuat janji akan mengatakan “insya Allah” dengan tujuan tidak memberati apa yang dijanjikan itu atau dengan kata lain lafaz “insya Allah” itu diucapkan sebagai alasan untuk tidak memenuhi janji tersebut. Sifat sedemikian adalah bertentangan dengan kehendak sebenar hukum syara‘.

Perlu difahami bahawa janji adalah wajib ditepati, manakala ucapan “insya Allah” itu adalah suruhan Allah dan RasulNya ketika berjanji, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur‘an dan hadith Rasulullah SAW. Maka di sini ada dua perkara yang berasingan dan saling berhubung kait di antara satu sama lain iaitu, kewajipan menunaikan janji dan suruhan ucapan dengan lafaz “insya Allah” ketika melakukan janji. Ini bererti ucapan “insya Allah” itu bukanlah sebagai alasan untuk tidak menyempurnakan janji yang dibuat dengan berserah kepada kuasa Allah semata-mata. Bahkan perkataan “insya Allah” itu hendaklah disertai dengan azam untuk menyempurnakan janji agar kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang munafiq.

Walau bagaimanapun menyebut perkataan “insya Allah” dengan azam untuk melakukan sesuatu itu adalah lebih menepati kehendak agama Islam, kerana kita pasti bahawa kita tidak mampu melakukan sesuatu itu kecuali dengan izin Allah jua. Islam mengajarkan kepada kita apabila terlupa menyebut lafaz “insya Allah” ketika itu, hendaklah kita menyebutnya sebaik-baik sahaja teringat. Hal ini diperintahkan oleh Allah SWT dalam surah al-Kahfi, ayat 24 iaitu “Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”.

BENTUK PENUNAIAN JANJI.

Sebarang janji yang dibuat akan diminta pertanggungjawabannya. Allah SWT berfirman “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isra`: 34)

Menepati janji adalah merupakan kewajiban syar’i, baik sesama Muslim mahupun tidak. Termasuk di dalam masalah ini adalah menepati waktu perjanjian, sebagaimana dalam surah al-Taubah ayat 4 dan hadits Rasulullah SAW:

“Ketahuilah barangsiapa yang menzalimi orang yang mendapat perlindungan atau menghinanya atau memberi beban di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaannya, maka aku adalah penuntutnya di hari kiamat” (HR Abu Dawud)

Menepati janji juga mengambarkan akhlak yang utama, ciri tingginya peradaban, sifat-sifat Mu’min dan Ulul Albab, merupakan jenis kebajikan, seruan agama yang Robbani, merupakan akhlak imaniyah serta akhlak para Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah SWT tentang Nabi Ismail AS “Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi.” (Maryam: 54)

Janji-janji itu mesti ditepati dalam kadar ikhtiar manusia secara maksima. Maka fahamlah kita bahwa kepada seorang Muslim, janji adalah suatu pertaruhan diri. Kesetiaan pada janji adalah kehidupan kerana dengan itu interaksi kita dengan sesama manusia boleh berjalan.

Begitulah para Salaf al-Soleh dahulu mengajarkan kepada kita. Bagi mereka, janji telah meningkat kadarnya dari hanya soal kepercayaan menjadi kesetiaan. Pada saat kepercayaan telah berubah menjadi kesetiaan, maka persiapan jiwa menanggung beban janji akan menjadi lebih kuat. Seperti seorang Muslim yang mengucapkan dua kalimah syahadah, itu adalah janji keislamannya. Menunaikan rukun Islam adalah pembuktian kepercayaannya. Namun kesetiaanlah yang akan memberinya umur bagi pembuktian janji itu. Maka pada saat itulah janji-janji menjadi segunung sampah serta tidak ada lagi kepercayaan, apalagi kesetiaan.

Di dalam lubuk keimanan, janji-janji bagi seorang Mukmin adalah kontrak-kontrak kerohanian dengan Tuhannya walaupun format aplikasinya dalam berbagai bentuk. Janji itu adalah ketakwaan yang menjadi penghantar bagi petunjuk jalan dan ampunan. Maka sebentuk janji adalah harga yang mahal untuk sebuah kepercayaan kerana janji yang tidak boleh dipercayai atau janji yang tidak ada kepercayaan di dalamnya ibarat buah yang ranum kulitnya, tapi lopong di dalamnya. Tidak ada buahnya yang boleh dimakan dan tidak akan memberi manfaat.

GAYA JANJI MELEPASKAN BATUK DI TANGGA

Melunaskan janji bukanlah dengan semacam melepaskan batuk di tangga. Allah menyukai bila melakukan sesuatu dilakukan dengan bersungguh. Jangan ambik mudah dan jangan main-main. Ingatlah, Allah itu tidak buta, tidak tuli dan tidak pernah tidur. Setiap apa yang dilafazkan dan diucapkan, Allah adalah saksinya. Dalam banyak peristiwa, janji menjadi semacam `wang muka' atau `deposit' bagi segala bentuk hubungan sosial di antara kita. Urusan selebihnya baru boleh di katakan lunas, jika memang janji-janji itu telah dipenuhi. Pada zaman ini, janji dijadikan sebagai barang dagangan, pertaruhan kepada keuntungan yang bersifat peribadi. Sekaligus menafikan hak pihak yang terikat dengan janji. Janji yang menguntungkan akan segera ditunaikan, sebaliknya jika janji itu telah menampakkan lorong-lorong kesuraman maka janji itu pantas dipotong dengan mengembalikan pertimbangan pada takdir Allah.

Masih saya ingat kata-kata seorang sahabat dari tanah Acheh satu waktu dahulu. Katanya, “Orang kebanyakan seperti kita ini berjanjinya seada sahaja. Orang baik-baik berjanji dengan nama Allah, InsyaAllah dengan izin Allah. Allah saksinya pada janji yang dibuat. Tapi Insya Allah umat hari ini tidak sama dengan Insya Allah umat zaman Nabi SAW. Insya Allahnya pada bibir sahaja, sedang hati masih belum nekad bulat pada apa yang dilafazkan bibir. Insya Allah jadi penambah rasa, penyedap hati orang yang mendengar.” Benar! benar sekali apa yang disampaikan itu. Kita umat di akhir zaman ini sedang merasai perkara ini. Allah... jauh sungguh kita daripada menjiwai kalimah yang penuh rahsia ini.

Ini lah juga bukti lemahnya manusia. Janji-janji yang dibuat antara manusia sesama manusia itu amat rapuh dan belum boleh dikategorikan dalam zon selamat atau selesa, sebelum ia benar-benar ditunaikan. Sungguh Maha Kaya Allah dan Maha Adil Allah pada hambaNya dengan tidak sesekali mengingkari janji yang dibuat. Firman Allah SWT "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata ‘ Dan aku mohon juga dari keturunanku’. Allah berfirman ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”: (al-Baqarah:124)

Allahuakbar. Sungguh janji itu merupakan perkara yang besar. Janji yang dibuat walau tidak dicatat atau direkod, barang pasti lagi jelas, Allah menjadi saksi padanya. Jangan sesekali memandang remeh pada setiap janji yang dibuat. Adab berjanji itu bila berjanji wajib tepati. Berjanji hendaklah lambat, memenuhi janji hendaklah cepat. Hablumminannas perlu dijaga. Jangan kerana memegang janji kita, tergendala urusan orang lain. Lantaran kerana kekuatan sebuah janji adalah pada saat janji itu ditunaikan bukan pada saat diucapkan.

Persoalan yang timbul, kenapa kita perlu menyegerakan janji? Antara lain kita telah merampas hak hidup orang lain dalam keterikatan janji yang telah kita buat. Banyak daripada urusan-urusan hidup orang lain akan tertunggak, terbatal atau langsung tidak dapat dilaksanakan ekoran daripada berpegang dengan janji yang dibuat. Berapa ramai kita lihat orang yang membuang masa hanya menunggu sebuah janji ditunaikan, sedang banyak lagi benda lain yang boleh diusahakan. Berapa ramai juga kita lihat orang yang kecewa bila terlalu lama menunggu janji berharap sesuai dengan kehendak diri, namun akhirnya berlaku apa yang disebaliknya. Berapa ramai juga yang terpaksa menanggung masalah dan beban yang lain semata-mata tidak lain kerana janji yang dibuat tidak dipatuhi.

Walau apa pun, perkara yang lepas biarkan saja ia berlalu. Sama-sama kita pastikan agar pada masa hadapan kita berusaha bersungguh-sungguh untuk menunaikan setiap janji yang telah dipateri. Akhir kalam saya memetik kata-kata Imam Hassan al-Basri, “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan bererti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling soleh di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam mentaati Rabb. Andai kata seorang Muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, nescaya tidak akan ada para pemberi nasihat.”

Kerana itu marilah kita takut kepada Allah dan marilah kita penuhi janji-janji dan usah mudah melafazkannya. Marilah kita mulai berjanji dengan benar, iaitu janji yang mempunyai ruh kepercayaan lalu ianya akan hidup panjang dengan kesetiaan. Ya Allah, jadilah kami orang-orang yang memenuhi janji apabila kami berjanji kerana sesungguhnya segala janji-janji itu akan dipersoalkan dan dipertanggungjawabkan di hadapanMu di akhirat nanti. Jauhkanlah kami dari sikap mengkhianati janji kerana ia adalah salah satu sifat munafik yang sangat buruk.


(Artikel oleh- Nurhidayu Salleh)


2 comments:

Anonymous said...

Manusia zaman skrg mudah menabur kata2..d'indahkan lagi dengan kalimah " Allah menjadi saksi "..sungguh mudah menabur ayat..Ya Allah..peliharalah lidah kami agar tidak terlanjur berjanji & kau ampunkanlah mereka yg sering 'bergurau' dgn mnjadikanMU sebagai saksi...~ sebagai ikhtibar pd diri saya sendiri ~

Anonymous said...

Terima kasih pencerahannya. Sangat bermanfaat.

Fuad Gani

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...